Monday, August 20, 2012

Sekilas cerita tentang 'Perahu Kertas'


Kisah ini dimulai dengan Keenan (Adipati Dolken), seorang remaja pria yang baru lulus SMA, yang selama enam tahun tinggal di Amsterdam bersama neneknya. Keenan memiliki bakat melukis yang sangat kuat, dan ia tidak punya cita-cita lain selain menjadi pelukis, tapi perjanjiannya dengan ayahnya memaksa ia meninggalkan Amsterdam dan kembali ke Indonesia untuk kuliah. Keenan diterima berkuliah di Bandung, di Fakultas Ekonomi.

Di sisi lain, ada Kugy (Maudy Ayunda), cewek unik cenderung eksentrik, yang juga akan berkuliah di universitas yang sama dengan Keenan. Sejak kecil, Kugy menggila-gilai dongeng. Tak hanya koleksi dan punya taman bacaan, ia juga senang menulis dongeng. Cita-citanya hanya satu: ingin menjadi juru dongeng. Namun Kugy sadar bahwa penulis dongeng bukanlah profesi yang meyakinkan dan mudah diterima lingkungan. Tak ingin lepas dari dunia menulis, Kugy lantas meneruskan studinya di Fakultas Sastra.

Kugy dan Keenan dipertemukan lewat pasangan Eko (Fauzan Smith) dan Noni (Sylvia Fully R). Eko adalah sepupu Keenan, sementara Noni adalah sahabat Kugy sejak kecil. Terkecuali Noni, mereka semua hijrah dari Jakarta, lalu berkuliah di universitas yang sama di Bandung.Mereka berempat akhirnya bersahabat karib.

Lambat laun, Kugy dan Keenan, yang memang sudah saling mengagumi, mulai mengalami transformasi. Diam-diam, tanpa pernah berkesempatan untuk mengungkapkan, mereka saling jatuh cinta. Namun kondisi saat itu serba tidak memungkinkan. Kugy sudah punya kekasih, cowok mentereng bernama Joshua (Dion Wiyoko), alias Ojos (panggilan yang dengan semena-mena diciptakan oleh Kugy). Sementara Keenan saat itu dicomblangkan oleh Noni dan Eko dengan seorang kurator muda bernama Wanda (Kimberly Ryder).

Persahabatan empat sekawan itu mulai merenggang. Kugy lantas menenggelamkan dirinya dalam kesibukan baru, yakni menjadi guru relawan di sekolah darurat bernama Sakola Alit. Di sanalah ia bertemu dengan Pilik, muridnya yang paling nakal. Pilik dan kawan-kawan berhasil ia taklukkan dengan cara menuliskan dongeng tentang kisah petualangan mereka sendiri, yang diberinya judul: Jenderal Pilik dan Pasukan Alit. Kugy menulis kisah tentang murid-muridnya itu hampir setiap hari dalam sebuah buku tulis, yang kelak ia berikan pada Keenan.

Kedekatan Keenan dengan Wanda yang awalnya mulus pun mulai berubah. Keenan disadarkan dengan cara yang mengejutkan bahwa impian yang selama ini ia bangun harus kandas dalam semalam. Dengan hati hancur, Keenan meninggalkan kehidupannya di Bandung, dan juga keluarganya di Jakarta. Ia lalu pergi ke Ubud, tinggal di rumah sahabat ibunya, Pak Wayan (Tyo Pakusadewo).

Masa-masa bersama keluarga Pak Wayan, yang semuanya merupakan seniman-seniman sohor di Bali, mulai mengobati luka hati Keenan pelan-pelan. Sosok yang paling berpengaruh dalam penyembuhannya adalah Luhde Laksmi (Elyzia Mulachela), keponakan Pak Wayan. Keenan mulai bisa melukis lagi. Berbekalkan kisah-kisah Jenderal Pilik dan Pasukan Alit yang diberikan Kugy padanya, Keenan menciptakan lukisan serial yang menjadi terkenal dan diburu para kolektor.

Kugy, yang juga sangat kehilangan sahabat-sahabatnya dan mulai kesepian di Bandung, menata ulang hidupnya. Ia lulus kuliah secepat mungkin dan langsung bekerja di sebuah biro iklan di Jakarta sebagai copywriter. Di sana, ia bertemu dengan Remigius (Reza Rahadian), atasannya sekaligus sahabat abangnya, Karel (Ben Kasyafani). Kugy meniti karier dengan cara tak terduga-duga. Pemikirannya yang ajaib dan serba spontan membuat ia melejit menjadi orang yang diperhitungkan di kantor itu.

Namun Remi melihat sesuatu yang lain. Ia menyukai Kugy bukan hanya karena ide-idenya, tapi juga semangat dan kualitas unik yang senantiasa terpancar dari Kugy. Dan akhirnya Remi harus mengakui bahwa ia mulai jatuh hati. Sebaliknya, ketulusan Remi juga akhirnya meluluhkan hati Kugy.

Sayangnya, Keenan tidak bisa selamanya tinggal di Bali. Karena kondisi kesehatan ayahnya yang memburuk, Keenan terpaksa kembali ke Jakarta, menjalankan perusahaan keluarganya karena tidak punya pilihan lain.

Pertemuan antara Kugy dan Keenan tidak terelakkan. Bahkan empat sekawan ini bertemu lagi. Semuanya dengan kondisi yang sudah berbeda. Dan kembali, hati mereka diuji. Kisah cinta dan persahabatan selama lima tahun ini pun berakhir dengan kejutan bagi semuanya. Akhirnya setiap hati hanya bisa kembali pasrah dalam aliran cinta yang mengalir entah ke mana. Seperti perahu kertas yang dihanyutkan di parit, di empang, di kali, di sungai, tapi selalu bermuara di tempat yang sama. Meski kadang pahit, sakit, dan meragu, tapi hati sesungguhnya selalu tahu.

Diwarnai pergelutan idealisme, persahabatan, tawa, tangis, dan cinta, “Perahu Kertas” tak lain adalah kisah perjalanan hati yang kembali pulang menemukan rumahnya.


Sumber Sinopsis



Gw belum baca novelnya, tapi novel-novel Dewi "Dee" Lestari selalu ramai diperbincangkan. Dengan gaya bahasa & cerita yg menarik. 10 menit pertama gw terpukau sama gambar yg ditampilkan, ya memang Hanung Bramantyo sukses memvisualisasikan keindahan di film ini. Mengeksekusi novel adaptasi bukan sesuatu yg baru buatnya, jadi wajar aja film-filmnya bisa dikatakan box office-nya Indonesia. Property Art-nya menarik, mulai dari sakola alit yg dihiasi kerajinan tangan, sampai kamar kugy yg penuh poster-poster & burung-burung hasil lipatan kertas.
Kembali ke perbandingan novel sama filmnya. Setelah ngobrol dengan seorang teman yg udah baca novelnya, mungkin klo dikonversi ke dalam film, novel ini akan berdurasi 6 jam. Terbukti film Perahu Kertas ini berdurasi 4,5 jam dan pada akhirnya dibagi menjadi 2 bagian, yg tentunya banyak adegan-adegan yg disunat.
Filmnya agak mendayu-dayu, dan ga klimaks menurut gw. Selama hampir 2 jam gw nunggu klimaks yg tak kunjung datang. Dan gw sadar film ini diperuntukkan untuk kalangan ABG. Untungnya para pemainnya cukup apik memainkan perannya, apalagi Reza Rahardian yg begitu natural memainkan perannya. Ada satu lagi, Maudy Ayunda yg notabene berumur 17 tahun terlalu muda untuk memerankan seorang Kugy, apalagi ketika dia udah beranjak dewasa, jadi sarjana, terus kerja. Kelihatan kurang mature.
Tak ada gading yg tak Martin, ehhh salah, Tak ada gading yg tak retak. Walaupun ada beberapa kekurangan dari adaptasi novel ke film ini, film ini layak tonton ditengah crowded  film Indonesia yg tak bermutu.


Berikut ini beberapa kutipan dari novel 'Perahu Kertas' yg diambil dari blog seorang teman:

 Lo tuh bukan cuma lari, lo tuh terbang. Dan lo suka lupa, gue masih di bumi. Kaki gue masih di tanah. Gimana kita bisa terus jalan kalau tempat kita berpijak aja beda?
 Halaman 147

Seperti matahari yang tak menyimpan memori ataupun dendam dan senantiasa memandikan bumi dengan sinarnya.
 
Halaman 184

Kenangan itu cuma hantu di sudut pikir. Selama kita cuma diam dan ngga berbuat apa-apa, selamanya dia tetap jadi hantu. Ngga akan pernah jadi kenyataan.
 
Halaman 221

Perihnya perpisahan yang dilakukan sendirian.
 
Halaman 226

Well, siapapun yang cuma modal body doang, ngga bakalan lama. Ini kan zaman inner beauty.
 
Halaman 275

Iyalah, segede-gedenya toket, mau dibawa samapai man, sih? Akhirnya kan yang ngaruh tetap faktor kepala.
 
Halaman 274

Aku yakin, suatu saat, apa yang sekarang kamu bilang hobi, akhirnya bisa jadi profesiku yang baru. Barangkali uangnya ngga banyak, tapi aku ngga peduli. Kugy
 
Halaman 362

Berputar menjadi sesuatu yang bukan kita, demi bisa menjadi diri kita lagi.
 
Halaman 46

 Sumber Kutipan

Monday, August 13, 2012

Ada setangkup haru dalam rindu (Yogyakarta)

Tugu Jogja

Jogjaaa.. Apa yang ada di benak kalian saat mendengar kota itu?
Saat saya mendengar nama kota itu, saya langsung membayangkan kota yang nyaman, adem, asri, dan kebudayaan Jawa yang kental. Saat mendengar nama kota itu juga saya teringat sebuah film yang dibintangi Nicholas Saputra & Adinia Wirasti. Tau ga apa filmnya? Ya, 3 Hari Untuk Selamanya… Film sederhana yang sangat menginspirasi, film ini film favorit saya dan tercatat sudah 7 kali menonton film ini (banyak amat). Sebuah film dengan cerita dua anak muda yang melakukan perjalanan dari Jakarta ke Jogja menggunakan mobil. Selebihnya nonton aja sendiri. Mari lanjut ke cerita perjalanan…
Setelah dari Malang, saya dan Bocan melanjutkan petualangan kami ke Jogja. Sampai Stasiun Lempuyangan sekitar pukul 1 dini hari, alhasil kami menunggu fajar menjelang dengan tidur di stasiun. Pagi tiba mentari cerah menyapa, saatnya kami beranjak dari stasiun mencari penginapan terlebih dahulu, sebelumnya saya menghubungi seorang teman lama yang masih kuliah di Jogja dengan maksud menumpang di kosannya (namanya juga backpack, meminimalisir budget), tapi karena sedang libur kuliah dia berada di Jakarta. Akhirnya kami mendapat penginapan yang cukup nyaman dengan harga Rp100.000/hari di Jalan Sosrowijayan (tempatnya penginapan murah buat para backpacker). Setelah menyimpan barang-barang yang kami bawa, kami bergegas untuk jalan-jalan di Malioboro. Bukan kali pertamanya kami ke Malioboro, tapi memang suasana Jogja yang membuat kota ini harus dikunjungi berkali-kali. Pertama kali saya ke Jogja itu di tahun 2005, ada seorang sahabat yang masih kuliah (Abang Kencana) pada kala itu menemani jalan-jalan di Jogja. Di Malioboro kami melihat-lihat dan sesekali membeli barang-barang yang menarik, kami masuk ke sebuah toko modern dengan gaya khas Jawa yaitu Minorta. Sungguh menarik masuk ke dalam toko ini, barang-barang yang dijual dan juga desain dalam tokonya yang tentunya khas Jawa. Pertama kali masuk ada sebuah patung bapak-bapak duduk dan ada tulisan menarik, “Jogja The Living Culture”. Ada juga seorang ibu-ibu sedang membatik, pertama kalinya saya melihat orang membatik, ternyata membatik itu sulit dan membutuhkan ketelitian. Lalu kami berkeliling melihat-lihat pernak-pernik menarik dan membelinya untuk oleh-oleh.
Setelah selesai melihat pernak-pernik kami menyewa motor seharga Rp50.000/hari, kami bergegas untuk ke Borobudur lalu ke Sendangsono. Borobudur salah satu warisan budaya yang berada di Magelang, Jawa Tengah ga begitu jauh jaraknya dari Jogja. Katanya kalau datang saat pagi atau sore, kita akan disuguhkan pemandangan mentari terbit atau tenggelam. Menikmati pemandangan indah yang kami lakukan di Borobudur sambil melihat-lihat peninggalan sejarah. Dalam benak saya selalu bertanya manusia macam apa yang mampu membangun candi sebesar dan serapih ini. Dalam sebuah film dokumenter History Channel ‘Ancient Aliens’ disana menjelaskan kemungkinan bangunan di bumi ini yang berbentuk piramida itu adalah buatan alien yang turun ke bumi, contohnya Piramida di Mesir, Borobudur di indonesia yang berbentuk mengerucut ke atas. Ya mungkin saja, itulah misteri dari dunia ini yang belum terungkap. Sama halnya seperti buku ‘Atlantis The Lost Continents Finally Found’ yang pernah saya baca sekilas, seorang ilmuwan asal Brazil (Prof. Arysio Nunes Dos Santos) menyatakan bahwa lokasi Atlantis yang hilang sejak kira-kira 11.600 tahun yang lalu itu adalah Indonesia. Dan masih banyak misteri dunia ini yang belum bisa terpecahkan oleh manusia.
Kembali lagi ke cerita perjalanannya, setelah dari Borobudur kami ke Sendangsono sebuah tempat ziarah Goa Maria yang terletak di Desa Banjaroyo, Jogja. Banyak orang yang berkunjung ke tempat ini untuk berziarah ataupun berwisata, selain itu mereka mengambil air dari sumber yang dipercaya dapat menyembuhkan penyakit. Kata Sendangsono itu berasal dari kata Sendang yang berarti mata air yang muncul di antara dua pohon sono. Tempat yang sunyi, sejuk dan nyaman untuk dijadikan tempat beristirahat sejenak dengan arsitektur yang menarik. Beberapa rohaniawan Buddha juga sering memanfaatkan tempat ini dalam rangka mensucikan dan menyepikan diri. Saya berdoa sejenak di tempat ini didepan patung Bunda Maria, dan mengambil air suci dari sumber mata air. Hari sudah sore dan saatnya kami beranjak pulang.
Malam itu turun hujan, jadi kami ga sempat berputar-putar Jogja malam hari. Alhasil malam itu kami istirahat mempersiapkan perjalanan pulang besok ke Bandung. Esok hari kami membeli tiket kereta Pasundan ke Bandung dengan keberangkatan pukul 12.16 WIB.
Berikut ini lirik sebuah lagu dari KLA Project, lagu sepanjang masa yang selalu ngingetin kita sama kota itu.

KLA Project - Yogyakarta
Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja
Di persimpangan, langkahku terhenti
Ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri, di tengah deru kotamu
(Walau kini kau t’lah tiada tak kembali) Oh…
(Namun kotamu hadirkan senyummu abadi)
(Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi)
(Bila hati mulai sepi tanpa terobati) Oh… Tak terobati
Musisi jalanan mulai beraksi, oh…
Merintih sendiri, di tengah deru, hey…
Walau kini kau t’lah tiada tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi
(untuk s’lalu pulang lagi)
Bila hati mulai sepi tanpa terobati, oh…
(Walau kini kau t’lah tiada tak kembali)
Tak kembali…
(Namun kotamu hadirkan senyummu abadi)
Namun kotamu hadirkan senyummu yang, yang abadi
(Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi)
Izinkanlah untuk s’lalu, selalu pulang lagi
(Bila hati mulai sepi tanpa terobati)
Bila hati mulai sepi tanpa terobati
Walau kini engkau telah tiada (tak kembali) tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu (abadi)
Senyummu abadi, abadi…